Selasa, 24 Desember 2019

Kamu


Aku bosan memulai tulisan dengan menanyakan kabarmu. Kali ini aku ingin memulai menulis hanya dengan memejamkan mata membayangkan sosok kamu. Aku ingin pada setiap detaknya, kamu luar biasa baik-baik saja –tanpaku-. Iya, pasti begitu, bukan?

Aku ingin melanjutkan tulisanku sebelumnya. Masih ingat? Tentang aku yang merindukanmu. Aduh! Aneh sekali aku ini. Mengaku rindu tapi enggan bertemu. Merasa sakit tapi terus mengungkit. Menuai nyaman tapi pergi perlahan.

Aku sedang kembali memikirkan, lebih baik aku tetap disini menjadi pemeran sampingan atau, pergi  dan membuat novel tentangku saja? Agar aku bisa menjadi pemeran utama didalamnya. Aku rasa membuat novel tentangku lebih baik. Tunggu sebentar, celaka! Kamu tau kenapa? Ada kamu juga didalamnya. Ah, kamu curang. Kemana aku pergi, kamu selalu mengikuti. Sedang aku, mudah sekali tergantikan peran dengan orang lain.

Aku mulai membuat cerita untuk nantinya dibuatkan buku novel tentang diriku. Sementara aku menulis, pergilah kamu bermain bersama para sahabatmu. Dimana ada orang itu disana. Iya, salah satu “sahabatmu”, pun ia temanku. Aku ingin disini, sendiri. Aku ingin disini, memperhatikanmu. Aku tidak mau diusik. Aku sedang melihatmu bahagia. Tepatnya, kalian.

Aku belum selesai menulis. Setiap aku menulis, selalu tertulis namamu kemudian aku hapus. Aku coba mengulang lagi, lagi, dan lagi. Terus berulang seperti itu hingga tak pernah selesai. Aku lelah menggunakan waktu berjam-jam hanya untuk menulis nama kamu, menghapusnya, lalu menuliskan nya lagi, dan menghapusnya lagi. Aku lelah. Sudah, ya.

Aku duduk dulu saja disini. Hanya ingin tersenyum melihat senyum mu bersamanya. Ah, senyum mu jelek! Mau aku ajarkan bagaimana caranya tersenyum manis? Jadi seperti ini, senyum itu akan terlihat manis kalau terlekuk dikejutkan hati yang bahagia. Lihat aku! Nah, sekarang senyum mu manis, sangat manis. Begitu, dong! Hahaha. Eh, itu artinya, hati kamu bahagia?

Tulisan untuk kamu ini berjudul “Kamu”, tetapi aku membuat awal setiap paragrafnya “Aku”,
Karena celakanya, sebagian dirimu adalah aku.

Pemeran Sampingan


Hai, apa masih ada? Iya, rasa itu, yang dulu, apa masih ada? Atau hilang entah kemana? Jika masih ada, apakah masih tentang satu nama, namaku?

Tulisan ini tentangmu, eh, tidak. Mungkin ini hanya tentang aku yang merindukanmu. Entah kemana akhir tulisan ini nanti -sampai padamu atau remuk bersama kertas dan dibuang- aku hanya ingin melepaskan belenggu yang aku ciptakan sendiri dalam hatiku.

Akhir-akhir ini aku jauh lebih sering membaca buku semenjak manjauh darimu. Aku ingin tenggelam dalam pikiran para pujangga. Menikmati bait fiksi yang membuatku lupa. Lupa bahwa tetap ada kamu di dunia nyata. Lupa dengan hal-hal bodoh yang aku tunjukkan padamu semuanya.

Percayalah, aku tau sakit rasanya ditinggal tanpa alasan yang jelas. Aku tau rasanya ditanam, dirawat, lalu ditebang saat semuanya telah diberikan dengan tulus. Bukan aku mengabaikan semuanya, hanya ada nestapa yang lebih sakit, yaitu memutuskan untuk pergi sedang-tak bisa dibohongi-aku masih ingin bertahan mendampingi hari-hari mu menuju mimpi, sangat ingin. Aku masih ingin membuatmu tersenyum seburuk apapun harimu. Ya, terkadang aku bingung dengan sihir yang kamu ceritakan, seuntai senyum dan tatapan hangat dariku ternyata ampuh mengusir jelaga sakit-apapun itu- di setiap harimu. Rasanya aku ingin selalu ada bersama senyum ini, untuk berada di dekatmu, memberi semangat pada setiap picisan waktu.

“Lalu mengapa kamu tetap pergi?” Tanyamu.

Sayang, aku ingin kamu bahagia. Baik, aku mengerti. Bahwa bagimu, akulah bahagiamu. Tak perlu dan tak menginginkan yang lain, cukup aku. Entah kita kurang saling bicara atau aku yang tak pernah sanggup mengerti dan memberi, aku tetap harus pergi.

Setiap kali aku membaca cerita dalam tinta pujangga, saat itu juga aku merasa seperti tokoh sampingan dalam cerita. Tokoh sampingan yang hanya menghadirkan masalah untuk pemeran utama. Tokoh yang hadir tiba-tiba dalam cerita yang sedang asik-asiknya, yang membuat seorang pemeran utamanya jatuh dan sakit sesakit-sakitnya.

Padahal, aku ingin sekali menjadi pemeran utama, bersamamu. Pemeran utama debagaimana kamu dan para sahabatmu. Aku iri melihat tawa sahabat-sahabat mu. Ya, aku ingin menjadi sahabatmu. Sebatas sahabat tak apa bagiku, asal dengan begitu aku mampu melihatmu bahagia tanpa batas. Mendengarkan ceritamu tentang seseorang dari perasaan terdalam hatimu lebih baik bagiku dibanding perasaan untukku yang tak pernah sanggup kamu sampaikan.

Aku tidak ingin mengusik kebahagiaan kalian-kamu dan para sahabatmu. Ikatan kalian terlalu berharga untuk sekadar kehadiran sesosok aku. Aku masih tidak mengerti dengan kalimat mu yang mengatakan, “bahagiaku adalah kamu.” Sedang salah seorang dari mereka bercerita bagaimana muramnya kamu saat yang lain riuh dengan canda. Memikirkanku, katanya. Ada apa? Aku membuatmu sedih, ya? Ah, bodoh sekali aku masih bertanya.

By :
Free Blog Templates