Hai, apa masih ada? Iya, rasa
itu, yang dulu, apa masih ada? Atau hilang entah kemana? Jika masih ada, apakah
masih tentang satu nama, namaku?
Tulisan ini tentangmu, eh, tidak.
Mungkin ini hanya tentang aku yang merindukanmu. Entah kemana akhir tulisan ini
nanti -sampai padamu atau remuk bersama kertas dan dibuang- aku hanya ingin
melepaskan belenggu yang aku ciptakan sendiri dalam hatiku.
Akhir-akhir ini aku jauh lebih
sering membaca buku semenjak manjauh darimu. Aku ingin tenggelam dalam pikiran
para pujangga. Menikmati bait fiksi yang membuatku lupa. Lupa bahwa tetap ada
kamu di dunia nyata. Lupa dengan hal-hal bodoh yang aku tunjukkan padamu
semuanya.
Percayalah, aku tau sakit rasanya
ditinggal tanpa alasan yang jelas. Aku tau rasanya ditanam, dirawat, lalu
ditebang saat semuanya telah diberikan dengan tulus. Bukan aku mengabaikan
semuanya, hanya ada nestapa yang lebih sakit, yaitu memutuskan untuk pergi
sedang-tak bisa dibohongi-aku masih ingin bertahan mendampingi hari-hari mu
menuju mimpi, sangat ingin. Aku masih ingin membuatmu tersenyum seburuk apapun
harimu. Ya, terkadang aku bingung dengan sihir yang kamu ceritakan, seuntai
senyum dan tatapan hangat dariku ternyata ampuh mengusir jelaga sakit-apapun
itu- di setiap harimu. Rasanya aku ingin selalu ada bersama senyum ini, untuk
berada di dekatmu, memberi semangat pada setiap picisan waktu.
“Lalu mengapa kamu tetap pergi?” Tanyamu.
Sayang, aku ingin kamu bahagia.
Baik, aku mengerti. Bahwa bagimu, akulah bahagiamu. Tak perlu dan tak
menginginkan yang lain, cukup aku. Entah kita kurang saling bicara atau aku
yang tak pernah sanggup mengerti dan memberi, aku tetap harus pergi.
Setiap kali aku membaca cerita
dalam tinta pujangga, saat itu juga aku merasa seperti tokoh sampingan dalam
cerita. Tokoh sampingan yang hanya menghadirkan masalah untuk pemeran utama.
Tokoh yang hadir tiba-tiba dalam cerita yang sedang asik-asiknya, yang membuat
seorang pemeran utamanya jatuh dan sakit sesakit-sakitnya.
Padahal, aku ingin sekali menjadi
pemeran utama, bersamamu. Pemeran utama debagaimana kamu dan para sahabatmu.
Aku iri melihat tawa sahabat-sahabat mu. Ya, aku ingin menjadi sahabatmu.
Sebatas sahabat tak apa bagiku, asal dengan begitu aku mampu melihatmu bahagia
tanpa batas. Mendengarkan ceritamu tentang seseorang dari perasaan terdalam
hatimu lebih baik bagiku dibanding perasaan untukku yang tak pernah sanggup
kamu sampaikan.
Aku tidak ingin mengusik
kebahagiaan kalian-kamu dan para sahabatmu. Ikatan kalian terlalu berharga
untuk sekadar kehadiran sesosok aku. Aku masih tidak mengerti dengan kalimat mu
yang mengatakan, “bahagiaku adalah kamu.” Sedang salah seorang dari mereka
bercerita bagaimana muramnya kamu saat yang lain riuh dengan canda. Memikirkanku,
katanya. Ada apa? Aku membuatmu sedih, ya? Ah, bodoh sekali aku masih bertanya.

